Minggu, 04 Januari 2015

Aku Hanya Ingin Bercerita

Aku hanya ingin bercerita, maaf jika mungkin ceritaku melukaimu, tapi aku hanya ingin engkau mengetahui cerita ini.
Air hujan saling berjatuhan dari langit. Terhentak ke permukaan bumi. Di tanah, atap rumah, dedaunan, dan sebagainya. Siang itu, hujan mendera desa kecilku. Seperti biasa, aku hanya duduk dan menatap laptop. Menjelajah internet dan media sosial. Tak sengaja aku menemukan akun itu.  Akun media sosial mantanku. Dia masih terlihat cantik seperti dulu, berkulit khas Indonesia;sawo matang, berambut hitam panjang sampai ke bagian belakang, berwajah oval, bermata indah, berbibir tipis, bertubuh jenjang, senyuman manis, dan yang paling ku ingat adalah pipinya yang halus.
Tak perlu berpikir dua kali, langsung saja aku klik akun media sosial itu. Mengajaknya berteman -- entah dulu ia pernah membatalkan pertemananku dengannya atau mungkin dia membuat akun baru. Entahlah. Kulihat beberapa bingkai foto di akunnya. Kubaca beberapa tulisan-tulisan di dindingnya. Kucari-cari status hubungannya dalam akun tersebut. Tak ada. Kabar baik? Entahlah.
Entah ini cuma nafsu sesaat, atau cinta yang dulu pernah layu. Kenangan-kenangan bersamanya bergejolak dihati dan pikiranku. Indahnya bersamanya, sakitnya bersamanya, saat-saat dia dan aku menjadi kami.
Setelah 2 tahun berpisah dengannya, aku mendapat pengalaman-pengalaman berharga. Pengalaman cara untuk mengerti wanita. Dahulu saat bersamanya, aku membenarkan caraku dalam mengertinya. Menyalahkannya karena tak mengerti aku. Ternyata semua itu tak sepenuhnya aku benar, tak sepenuhnya Dia salah.
Kau tau? Entah bagaimana rasa sesal menyelimuti hatiku. Apakah benar tindakanku dulu memutuskannya? Entahlah. . . .
***
sore yang indah. Sinar kuning matahari menelisik di sela-sela jendela. Rintik-rintik gerimis menghilang tanda hujan berakhir, hujan yang menguyur desa kecilku. Tetes demi tetes air mengalir di dedaunan pohon dekat rumahku. Pelan tapi pasti. Tenang. Sejuk.
Suasana yang pas untuk membaca novel.
Novel yang kubaca berjudul Bulan Tenggelam Diwajahmu karya Darwis Tere-liye. Awalnya kukira novel ini tentang kehidupan, tetapi ternyata juga "dibumbui" oleh percintaan. Asik sekali aku membacanya, terutama saat tokoh utama jatuh cinta. Darwis sangat lihai dalam mengisahkan percintaan tersebut. Bagaimana kisah cinta mereka, bagaimana tingkah laku tokoh dalam menyikapi keadaan, dan bagaimana cara Darwis melukiskan itu semua hanya dengan kata-kata.
Dalam novel itulah aku belajar mengerti kehidupan. Apa yang tadinya aku sesalkan ternyata hanyalah siluet belaka. Aku mengingat dulu saat kami masih bersama. Banyak sekali pertengkaran sia-sia. Bukan karena aku membenarkan caraku dalam mengertinya. Bukan pula karena aku Menyalahkannya yang tak mengerti aku. Tetapi karena memang kami tak cocok, tak sejalan, tak dapat saling mengerti. Andai saja aku menghubunginya kembali, mungkin aku akan membuka luka lama.
Aku sadar.
Aku sadar indahnya kebersamaanku denganmu.
Aku sadar indahnya bercanda denganmu. Bergurau dan saling mengejek.
Aku sadar, aku sangat beruntung mendapatkanmu.
Memang engkau tak secantik dia. Memang engkau tak berambut hitam panjang sampai ke bagian belakang -- bahkan aku belum pernah melihat rambutmu secara utuh. Memang engkau tak berwajah oval. Memang matamu tak seindah matanya. Memang bibirmu tak setipis miliknya, memang tubuhmu tak sejenjang miliknya, memang senyumanmu tak semanis miliknya. Akan tetapi bukan karena itu semua aku mencintaimu.
Bukan.
Tetapi karena engkau dapat mengerti aku. Karena engkau dapat mengerti sifat manja dan egoisku. Karena engkau dapat mengerti kesibukan dan nafsuku. Karena engkau dapat mengerti sifat rendah diri dan keuanganku.
Aku mencintaimu, amat mencintaimu. Bahkan melebihi cinta dengannya dulu.

Aku hanya ingin bercerita, maaf jika mungkin ceritaku melukaimu, tapi aku hanya ingin bercerita. Bercerita tentang betapa beruntungnya diriku mendapatkanmu.



Kudus, 31 desember 2014,
Jexco Lantern (Nailul Marom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar