Aku hanya ingin bercerita, maaf jika mungkin ceritaku
melukaimu, tapi aku hanya ingin engkau mengetahui cerita ini.
Air hujan saling berjatuhan dari langit. Terhentak ke
permukaan bumi. Di tanah, atap rumah, dedaunan, dan sebagainya. Siang itu,
hujan mendera desa kecilku. Seperti biasa, aku hanya duduk dan menatap laptop. Menjelajah
internet dan media sosial. Tak sengaja aku menemukan akun itu. Akun media sosial mantanku. Dia masih terlihat
cantik seperti dulu, berkulit khas Indonesia;sawo matang, berambut hitam
panjang sampai ke bagian belakang, berwajah oval, bermata indah, berbibir
tipis, bertubuh jenjang, senyuman manis, dan yang paling ku ingat adalah
pipinya yang halus.
Tak perlu berpikir dua kali, langsung saja aku klik akun
media sosial itu. Mengajaknya berteman -- entah dulu ia pernah membatalkan
pertemananku dengannya atau mungkin dia membuat akun baru. Entahlah. Kulihat
beberapa bingkai foto di akunnya. Kubaca beberapa tulisan-tulisan di
dindingnya. Kucari-cari status hubungannya dalam akun tersebut. Tak ada. Kabar baik?
Entahlah.
Entah ini cuma nafsu sesaat, atau cinta yang dulu pernah
layu. Kenangan-kenangan bersamanya bergejolak dihati dan pikiranku. Indahnya
bersamanya, sakitnya bersamanya, saat-saat dia dan aku menjadi kami.
Setelah 2 tahun berpisah dengannya, aku mendapat
pengalaman-pengalaman berharga. Pengalaman cara untuk mengerti wanita. Dahulu
saat bersamanya, aku membenarkan caraku dalam mengertinya. Menyalahkannya
karena tak mengerti aku. Ternyata semua itu tak sepenuhnya aku benar, tak
sepenuhnya Dia salah.
Kau tau? Entah bagaimana rasa sesal menyelimuti hatiku.
Apakah benar tindakanku dulu memutuskannya? Entahlah. . . .
sore yang indah. Sinar kuning matahari menelisik di
sela-sela jendela. Rintik-rintik gerimis menghilang tanda hujan berakhir, hujan
yang menguyur desa kecilku. Tetes demi tetes air mengalir di dedaunan pohon
dekat rumahku. Pelan tapi pasti. Tenang. Sejuk.
Suasana yang pas untuk membaca novel.
Novel yang kubaca berjudul Bulan Tenggelam Diwajahmu karya
Darwis Tere-liye. Awalnya kukira novel ini tentang kehidupan, tetapi ternyata
juga "dibumbui" oleh percintaan. Asik sekali aku membacanya, terutama
saat tokoh utama jatuh cinta. Darwis sangat lihai dalam mengisahkan percintaan
tersebut. Bagaimana kisah cinta mereka, bagaimana tingkah laku tokoh dalam
menyikapi keadaan, dan bagaimana cara Darwis melukiskan itu semua hanya dengan
kata-kata.
Dalam novel itulah aku belajar mengerti kehidupan. Apa yang
tadinya aku sesalkan ternyata hanyalah siluet belaka. Aku mengingat dulu saat
kami masih bersama. Banyak sekali pertengkaran sia-sia. Bukan karena aku
membenarkan caraku dalam mengertinya. Bukan pula karena aku Menyalahkannya yang
tak mengerti aku. Tetapi karena memang kami tak cocok, tak sejalan, tak dapat
saling mengerti. Andai saja aku menghubunginya kembali, mungkin aku akan
membuka luka lama.
Aku sadar.
Aku sadar indahnya kebersamaanku denganmu.
Aku sadar indahnya bercanda denganmu. Bergurau dan saling mengejek.
Aku sadar, aku sangat beruntung mendapatkanmu.
Aku sadar indahnya kebersamaanku denganmu.
Aku sadar indahnya bercanda denganmu. Bergurau dan saling mengejek.
Aku sadar, aku sangat beruntung mendapatkanmu.
Memang engkau tak secantik dia. Memang engkau tak berambut
hitam panjang sampai ke bagian belakang -- bahkan aku belum pernah melihat
rambutmu secara utuh. Memang engkau tak berwajah oval. Memang matamu tak seindah
matanya. Memang bibirmu tak setipis miliknya, memang tubuhmu tak sejenjang
miliknya, memang senyumanmu tak semanis miliknya. Akan tetapi bukan karena itu
semua aku mencintaimu.
Bukan.
Tetapi karena engkau dapat mengerti aku. Karena engkau dapat mengerti sifat manja dan egoisku. Karena engkau dapat mengerti kesibukan dan nafsuku. Karena engkau dapat mengerti sifat rendah diri dan keuanganku.
Bukan.
Tetapi karena engkau dapat mengerti aku. Karena engkau dapat mengerti sifat manja dan egoisku. Karena engkau dapat mengerti kesibukan dan nafsuku. Karena engkau dapat mengerti sifat rendah diri dan keuanganku.
Aku mencintaimu, amat mencintaimu. Bahkan melebihi cinta
dengannya dulu.
Aku hanya ingin bercerita, maaf jika mungkin ceritaku
melukaimu, tapi aku hanya ingin bercerita. Bercerita tentang betapa
beruntungnya diriku mendapatkanmu.
Kudus, 31 desember 2014,
Jexco Lantern (Nailul Marom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar